1001 Masjid, adalah sebuah komunitas dan jaringan sosial (non-komersial), yang mewadahi berhimpunnya orang-orang yang berkhidmad dan mendedikasikan diri pada pengajaran Al-Quran dan "menghidupkan" masjid-masjid.
---
Kegiatan-kegiatan komunitas ini fokus pada pemberdayaan masyarakat berbasis masjid, serta membangun jaringan antar masjid & pengajian.
---
Dengan berfokus dan berbasis pd masjid & pengajian, Komunitas 1001 Masjid diharapkan dapat menjadi jaringan sosial yg efektif dlm kegiatan-kegiatan sosialisasi dan pemberdayaan masyarakat.

Menggerakkan Roda Perubahan: Dakwah


Da’wah akan berhadapan dengan dimensi masyarakat, yang dari kurun ke kurun berkembang dan memiliki karakternya masing-masing.

Da’wah yang efektif tentu harus cerdas dalam memainkan peran dan fungsinya agar fungsi rahmatan lil `alamin yang dipikulnya dapat bekerja optimal. Dengan kata lain, modal da’wah pada setiap zaman tentu akan berbeda, karena mesti dibawakan, dikomunikasikan, disesuaikan dengan karakter zamannya.
Pesan Rasulullah SAW sangat jelas, "khotibunnasi ‘ala qodri `uqulihim‘; "khotibunnas ‘ala lughotihim"

Da’wah harus mampu berkomunikasi secara efektif, disesuaikan dengan kondisi dan karakter masyarakat yang menjadi obyek da’wahnya. Bila cara dan muatan da’wah tidak "match" dengan situasi/kondisi dan tuntutan da’wah, sangat mungkin da’wah tersebut ditinggalkan orang. 
Aktivis da’wah seharusnya mengenal dan memahami karakter medan da’wahnya. Seperti apakah karakter masyarakat sekarang ini?. Yang jelas, persoalan, tuntutan, kebutuhan dan kecenderungan masyarakat duapuluh tahun yang lalu tentu berbeda dengan sekarang.

William Knoke, dalam bukunya "Bold New World" menggambarkan perkembangan kebudayaan manusia yang disebutnya dalam empat dimensi. The First Dimension Society yang terjadi selama sekitar lima ribu tahun telah melahirkan umat manusia sejak hidup di gua-gua sampai manusia merintis perdagangan dunia; mencari rempah-rempah, perdagangan sutera dan sebagainya. The Second Dimension Society terjadi selama kurun waktu lima ratus tahun dengan munculnya kerajaan-kerajaan besar yang kemudian melahirkan daerah-daerah koloni. Pada saat ini pula telah lahir kembali ilmu pengetahuan yang telah mendorong suatu bentuk masyarakat baru, yaitu masyarakat industri. The Third Dimension Society terjadi hanya dalam masa 50 tahun yang ditandai oleh komersialisasi penerbangan, lahirnya korporasi multinasional, dan manufaktur barang-barang perdagangan di seluruh dunia yang ditopang oleh aplikasi teknologi. The Fourth Dimension Society adalah kehidupan manusia abad XXI yang masih tanda tanya, dan terus berkembang (in progress), dengan kemajuan ilmu dan teknologi yang sangat mencengangkan, dan sekaligus mengubah tata kehidupan masyarakat.

Kehidupan masyarakat di masa da’wah kita adalah masyarakat yang tata dan pola kehidupannya sangat complicated, baik kecenderungan (trend), gaya (style), kebiasaan (habit), ataupun keinginan dan kebutuhan mereka (will and need).

Budaya global juga menjadi salah satu pemicu berubahnya secara signifikan pola dan tata kehidupan masyarakat. Appadurai (1990) dalam buku ”Global Structure” mengungkapkan suatu lukisan global yang mewarnai dunia, yaitu (a) Ethno-scape; yang disebabkan arus aliran turis, pasar terbuka, migrasi, dan pengungsian. (b) Techno-scape; yang diakibatkan oleh distribusi teknologi yang telah memasuki semua pelosok dunia karena kemampuan-kemampuan teknologi komunikasi dan produk-produk teknologi lainnya, (c) Finance-scape; yang diakibatkan distribusi kapital yang mengalir ke berbagai negara, dari negara maju ke negara maju atau ke negara yang sedang berkembang, (d) Media-scape, berkenaan dengan distribusi informasi karena kemajuan serta kemampuan teknologi komunikasi, (e) Idea-scape, mengenai distribusi ide politik seperti kemerdekaan, HAM, demokrasi, kesetaraan jender, keadilan, (e) Sacri-scape, mengenai distribusi ide dan nilai-nilai keagamaan.

Da’wah juga dihadapkan pada kenyataan munculnya ledakan penduduk di wilayah negara-negara miskin yang kebanyakan berpenduduk muslim, (termasuk negeri kita), yang tidak dibarengi dengan kemajuan pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi yang memadai. Dengan kondisi demikian maka efek berikutnya yang muncul adalah lahirnya permasalahan kehidupan sosial, budaya, pendidikan, ekologis dan kesehatan.

Daftar permasalahannya dapat berupa: Output pendidikan yang rendah, budaya yang lepas dari nilai-nilai santun, hukum yang tak mampu berbuat adil, angka kejahatan yang semakin tinggi (sehingga menurunkan rasa aman masyarakat), kemaksiatan yang semakin terbuka dan merajalela, kejahatan politik yang terang-terangan, sampai pada konflik-konflik horisontal yang terjadi maupun yang ‘diciptakan’.
Di sisi ekologis kita juga saksikan terjadinya terus menerus perusakan hutan, pencemaran air, laut dan udara, kesemerawutan tata kota dan lalu lintas, ketidak-mampuan mengelola limbah, tumbuhnya pemukiman liar yang tak terkendali, musim kemarau dan musim hujan yang keduanya mendatangkan bencana akibat kelalaian pemerintah daerah, dan segudang permasalah lingkungan lainnya.
Kondisi yang demikian buruk kemudian diperparah dengan buruknya moral para pejabat negara, pemain industri/usaha, termasuk para aparat penegak hukum.

Sesungguhnya keterbelakangan dan keterpurukan bukanlah sifat umat Islam. Dahulu, umat ini menempati posisi terdepan di dunia hampir sepanjang sepuluh abad! Kebudayaannya adalah kebudayaan yang dominan dan menyebar luas. Ulama-ulamanya adalah pendekar dan jawara dalam setiap disiplin ilmu dan pemikiran. Siapa yang berani mengingkari kontribusi Ibnu Hayyan dalam bidang kimia, Ibnu al-Haytsam dalam bidang fisika, al Khawarizmi dalam aljabar, al-Biruni dalam matematika, ar-Razi, Ibnu Sina, az-Zahrawi, dan Ibnu an Nafis dalam dunia kedokteran, Ibnu Rusyd dalam kajian filsafat?
Siapa yang dapat mengingkari kontribusi umat Islam bagi dunia dalam penerapan metode deduktif eksperimental dalam berbagai disiplin ilmu alam? Dengan metode inilah kemudian menjadi sumbu kebangkitan Eropa.

Syaikh Al Ghazali, seorang ulama dan pemikir kritis pernah geram dengan situasi dan kondisi negeri-negeri muslim yang sangat tergantung kepada negeri-negeri barat dalam hal swasembada pangan setelah beliau mendapat informasi bahwa 77% gandum roti di negeri-negeri Arab adalah impor, dan pada tahun 2000 nilai impor pangan Arab mencapai 120 milyar dollar. Beliau berkomentar: "Kenapa kita harus melakukan impor dalam jumlah yang sedemikian besar? Kenapa bangsa Arab tidak mampu menghasilkan barang-barang yang akan mereka konsumsi?"

Kemudian beliau mengingatkan perkataan menteri pertanian Amerika Serikat tahun 1975 dalam majalah Der Spiegel Jerman. Menteri itu berkata: "Kekuasaan di dunia ini terpusat hanya pada dua sumber alam: minyak dan makanan. Tapi kekuasaan makanan lebih dahsyat dari pada minyak! Karena itu makanan menempati posisi yang sangat strategis dan sangat berpengaruh dalam pergaulan kita dengan sepertiga penduduk dunia!"

Selanjutnya Al Ghazali mengungkapkan bahwa kemunduran dan keterpurukan umat Islam disebabkan oleh hal-hal berikut:
1. Pemahaman yang salah terhadap Islam.
Kesalahan ini berupa didahulukannya apa yang harus diakhirkan, dan diakhirkannya apa yang seharusnya didahulukan, berkembangnya berbagai khurafat berkedok agama, seperti membaca "wirid Bukhari" pada saat kritis, dan meninggalkan sebab-sebab yang sesuai dengan sunatullah. Para syaikh membaca "wirid bukhari" ketika mereka melepas kapal-kapal angkatan laut Turki agar mendapatkan berkah. Lalu ada orang yang iseng menggantung tulisan: inna as-sufunu tasiru bi al-bukhar laa al- Bukhari (kapal itu bergerak karena adanya uap, bukan karena wirid Bukhari). Sebelum berkecamuknya perang at-Tiil yang dahsyat itu, Panglima Ahmad Arabi Basya mengadakan pertemuan dzikir, dengan harapan semoga Allah berkenan menolongnya dalam melawan pasukan Inggris. Tapi hasilnya, Ahmad Arabi Basya kalah dalam waktu 20 menit.


2. Bodohnya kaum muslimin terhadap dunia.
Hal ini muncul karena adanya kekeliruan dalam masalah wawasan. Syaikh Al-Ghazali berkata, "Banyak sekali manusia yang telah berhasil melakukan pengkajian di bumi dan di langit. Keberhasilan ini membuat kekuatan mereka bertambah dan senjatanya makin dahsyat daya hancurnya. Lalu dimana posisi kaum muslimin dibanding mereka itu?" Al-Ghazali melanjutkan komentarnya: "Ketika saya membaca kisah penyerangan Perancis terhadap Mesir pada abad ketiga belas Hijriyah, otak saya mendidih karena marah melihat begitu banyak darah umat yang tumpah sia-sia. Para penunggang kuda yang berani jatuh berguguran di hadapan meriam-meriam modern. Pengalaman bangsa Perancis tentang kehidupan, ilmu, dan penemuan-penemuan sangat membantu mereka mencapai kemenangan. Mereka berhasil memaksa orang-orang memilih antara lari dari peperanganatau mati sia-sia! Kenapa kita begitu bodoh tentang dunia dan cara-cara mengkajinya? Pengetahuan yang luas tentang dunia dan kemampuan untuk mengelolanya adalah perkara biasa bagi generasi pertama umat ini.”

3. Merebaknya paham Jabariyah (fatalisme) di dunia Islam.
Paham ini mengakibatkan goyahnya kepribadian umat Islam karena sikap pasrah dan apatis mendominasi kehidupannya. Manusia dipaksa dan tidak memiliki hak ikhtiar (memilih). Ia tidak memiliki kekuatan maupun kemauan. Bagaimana ia bisa berkreasi sedang takdir tidak memberikan jalan kepadanya untuk bergerak bebas?. "Seperti bulu yang ditiup angin yang bergerak" Ia tidak pernah hinggap dan menetap di sebuah tempat. Kaya dan miskin, kebahagian dan kesengsaraan, keberhasilan dan kegagalan, semua ini telah ditentukan dan digariskan. Dan yang sudah digariskan tidak mungkin lagi dihindari! Dalam pandangan Al-Ghazali penyebab hal ini adalah ilmu kalam, ilmu tasawuf, dan karena ulah sebagian mufassir al-Qur’an dan pemberi syarah hadits. Selain itu, umat juga lemah dalam mengaitkan sebab dengan penyebab (hukum kausalitas), meluasnya pemikiran tentang karomah dan kejadian-kejadian aneh sehingga hukum-hukum Allah yang mengatur alam semesta ini hampir tidak tersentuh sama sekali.

4. Tradisi-tradisi riya’ dalam masyarakat Islam.
Generasi salaf adalah generasi yang fitrahnya dan tabiatnya lurus dan bersih. Tujuan hidup mereka adalah untuk mendapatkan keridhaan Allah. Perbuatan Rasul selalu menjadi teladan mereka.Tapi kaum muslimin akhir-akhir ini telah membuat berbagai macam tradisi yang sifatnya menonjolkan penampilan luar yang menipu. Tradisi itu berbeda jauh dengan fitrah Islam yang lurus dan mudah. Riya’ adalah syirik. Syirik telah menguasai kebiasaan-kebiasaan dan adat istiadat sehingga sesama kaum muslimin saling berjauhan.

5. Kondisi wanita pada jaman kemunduran.
Wanita dilarang menikmati pendidikan berdasarkan sebuah hadits bohong: "Jangan ajari mereka tulis menulis", dan juga sebuah hadits lemah: "Jangan sampai ia (wanita) melihat laki-laki, dan juga jangan sampai laki-laki melihatnya." Wanita dilarang pergi ke masjid berdasarkan riwayat yang jelas-jelas bertentangan dengan hadits mutawatir dan shahih. Rumah-rumah Allah dan dunia pendidikan kosong dari wanita. Wanita tidak boleh mengetahui al-Qur’an, hadits dan fiqih. Karena itulah, wanita muslimah tampil sebagai wanita dunia yang paling lemah ikatannya dengan agama dan masyarakat. Akibatnya dunia pendidikan Islam mengalami guncangan hebat.

7. Menurunnya sastra Arab.
Ketika kaum muslimin lemah, kemampuan sastra mereka juga mengalami krisis. Puisi dan prosa mengalami degradasi mutu, sastrawan-sastrawan berbakat menyusut, penulis-penulis dan pemikir-pemikir makin langka. Dengan memperhatikan perjalanan sejarah sastra sejak abad ke delapan kita akan merasakan kebenaran dari pernyataan ini. Sastra, puisi, dan prosa telah mengalami penurunan hebat yang mengundang rasa keprihatinan.

8. Manajemen keuangan masyarakat.
Manajemen dalam bidang ini mengalami keguncangan. Distribusinya sangat buruk, dan melahirkan kemiskinan yang memilukan serta kemewahan yang merusak. Meskipun Islam dikenal sebagai agama yang pertama kali menggerakkan pasukan untuk mengambil hak-hak orang miskin dari orang-orang kaya, tapi mayoritas penguasa muslim tidak memperhatikan bidang ini. Akibatnya, orang-orang miskin hidup dalam kondisi mengenaskan, sogok menyogok merebak - terutama di kalangan pejabat, padahal Nabi SAW melaknat orang yang menyogok dan orang yang mau disogok. Pengangguran yang terang-terangan maupun yang terselubung meluas, lalu dalam wilayah Islam lahir manusia-manusia rakus terhadap harta; mereka tidak mengerti dari mana datangnya harta tersebut.

Dalam sebuah hadits disebutkan: "Bila urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya maka tunggulah kehancurannya".

Orang-orang yang diberikan amanah tertentu tidak pernah berusaha meningkatkan kemampuannya, bahkan mereka tidak pernah merasa puas secara material dan moral dalam hidup ini, sesuai dengan batasan yang telah ditetapkan untuknya.

Syura’ tidak pernah dipraktekkan di pemerintahan, padahal Islam menjelaskan bahwa masyarakat itu tegak di atas kesediaan berbagi nasihat dalam kebenaran, amar maruf dan nahi munkar, tolong menolong dalam kebaikan, menolak egoisme, dan lebih mengutamakan pendapat jama’ah.
Negara juga sangat lemah secara administrasi. Pihak-pihak yang bertanggung jawab tidak lagi memperhatikan urusan da’wah di dalam ataupun di luar negeri.
Tidak pernah ada konferensi yang diadakan untuk membahas sebab-sebab jatuhnya Al-Quds, Baghdad, atau Andalusia, untuk dijadikan pelajaran bagi rancangan masa depan umat.
Dalam suasana lengah itu, di dalam tubuh umat Islam lahir kelompok-kelompok agama yang melakukan pengkhianatan dan tindakan culas. Kelompok ini selalu menunggu saat yang tepat untuk memukul Islam dan menikam punggung umatnya. Kelompok-kelompok ini bergerak dalam gelombang imperialisme. Tapi yang jelas, kelemahan umat ikut memberi andil bagi lahirnya kelompok pengkhianat itu.


Melihat rumitnya persoalan yang dihadapi umat menuntut da’wah berfikir keras untuk merumuskan kebijakan strategis dan rancangan taktis yang jitu, serta kesiapan dan ketangguhan kader yang mumpuni.

Da’wah memerlukan dukungan kekuatan berbagai ilmu dan kemampuan yang akan menjadikannya konfigurasi kekuatan yang tangguh. Kekuatan da’wah harus ditopang oleh pemahaman yang utuh dan benar akan minhajul hayah (Al Qur’an dan AsSunnah) dan kekuatan amal yang efektif dan produktif sebagai wasailul hayah (ilmu pegetahuan dan teknologi).
Da’wah memerlukan para kader yang memiliki kepakaran dan kemampuan `ulumul qauliyah (syari’ah, fiqh, da’wah, hadits, sirah, dsb.) dan `ulumul kauniyah (teknologi, pedagogi, androgogi, sosiologi, psikologi, geologi, dsb.)

Da’wah yang dibutuhkan untuk memperbaiki umat adalah suatu gerakan da’wah yang menyeluruh (da’wah syamilah), da’wah yang mampu mempersiapkan segala kekuatan untuk menghadapi segala medan yang berat dan rumit: Wa a’iduu lahum mastatho’tum min quwwah (dan persiapkan lah oleh kalian segala kekuatan ).

Kekuatan utama da’wah adalah para kader da’wah itu sendiri. Da’wah harus mampu mencetak kader-kader yang handal dari berbagai latar belakang kemampuan dan kemahiran yang saling bertaut memberdayakan umat.

Da’wah membangun kekuatan SDM dalam suatu jaringan dan barisan, kesamaan fikrah, kesatuan gerak dan langkah, dan kejelasan visi dan misi yang diembannya melalui suatu orkestra kepemimpinan yang cerdas, tangguh dan amanah.

wallahu’alam (Lupa dikutip dari mana... Tapi mudah2an Allah memberkahi penulisnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar